Monday, August 21, 2006

Prinsip, ego, kekerasan dan komitmen

Sebuah hubungan harus di jalani dengan ikhlas baik ketika hubungan itu berjalan atau mungkin ketika hubungan itu berakhir, karena hanya dengan keikhlasanlah kita tak akan pernah menyesali menjalani sebuah hubungan.

Malam kemarin dan pagi ini seperti mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kejadian yang terjadi menyakitkan bagi semuanya, bagi keduanya, dia maupun aku. Apa hendak dilakukan ketika semua sudah terlanjur terjadi?
Segala apapun yang pernah dilakukan akhirnya tertutup oleh sebuah tindakan yang tidak di inginkan. Saling merasa benar. Saling mengganggap apa yang dilakukan adalah yang terbaik dan harus di mengerti oleh yang lainnya.

Sesal memang selalu datang terlambat, coba saja bisa tetap sabar, mungkin tidak akan terjadi kejadian ini. Tapi nyatanya semuanya berbatas. Semuanya terhenti oleh tembok yang dinamakan prinsip.

Kekerasan itu tak di tolelir oleh dia. "Lelaki macam apa yang beraninya hanya terhadap perempuan" ujarnya. kalimat yang selanjutnya keluar, "Kalau memang tak bisa menerima sikapku yang seperti ini, sudah pergi sana, aku tak ingin melihat mu lagi, aku sudah tak butuh dirimu."

Sementara aku ini berprinsip ketika harga diri di injak-injak dan kesabaran sudah tidak di hargai lagi, tak peduli dia laki-laki atau perempuan, maka dia harus tau kalau aku tak bisa menerima.

Sesal memang selalu datang terlambat, andai kedua belah pihak mampu mengedepankan komitmen ketimbang mendahulukan diri sendiri,mungkin tidak akan terjadi kejadian ini. Nyatanya semuanya berbatas. Semuanya bergantung pada kepentingan individu juga latar belakan individu.

Entahlah ada jalan atau tidak untuk memperbaiki semuanya ini untuk menuju apa yang telah direncanakan sebelumnya.
Ataukah akan berakhir begitu saja...

Aku masih ingin membicarakannya, ingin memcoba memperbaiki dan terus menjalani komitmen itu sampai tidak ada lagi cara...
dia? aku tak tau

Friday, August 18, 2006

Penghasilan dan kerja

Tidakkah merupakan tanda kurang bersyukur bila terus mengeluh??

Huh capek rasanya, kerja 7 hari dalam seminggu dan penghasilan yang "segitu " dalam sebulan. Sudah dicukup-cukupkan untuk makan juga biaya kost, masih saja keteteran, walhasil tak ada tabungan. Kurang pandai mengatur barangkali ya? bisa jadi.
Terbayang, andai bisa libur saja 1 hari dalam seminggu, punya waktu luang buat bersosialisasi, menambah skill mungkin atau meluaskan link untuk mencari lahan penghasilan baru, mungkin keadaannya bisa berubah. Tapi mengingat tempat kerja dan aturan kerja, tak bisa seperti itu nyatanya.
Adakalanya pingin sudah saja bekerja, pulang ke kampung dan mulai dari nol lagi. Tak segampang itu ternyata kejadiannya. Tak mungkin rasanya harus menyusahkan orang tua dan menambah beban fikiran orang tua dengan keberadaan diri di rumah.
Mencari tempat kerja baru?? rasanya sudah tak terhitung lagi lamaran yang di kirimkan. Tapi sampai detik ini, belum sampai pada tahap yang diinginkan. Akhirnya yang bisa hanyalah menunggu, Kapan ya ada panggilan...
Membuka lapangan kerja sendiri mungkin ya? entahlah belum berani, kurang nekat, kurang skill dan jelas tak punya modal.
Apakah ada yang mengalami seperti ini juga???

Wednesday, August 09, 2006

Kengerian

Setiap kita pasti pernah di hadapkan dengan ketidak beranian untuk melakukan sesuatu, entah alasannya apa, atau di mulai dengan kejadian seperti apa sehingga kita tidak berani.
Takut menikah? pertanyaan itu yang muncul. Menikah... apakah hanya sekedar menjalankan ritual semata? kewajiban semata? atau juga karena desakan lingkungan, faktor umur, terbawa arus pertemanan, atau alasan lain yang di kondisikan terhadap kita sehingga mempertanyakan sebuah ketakutan akan pernikahan jadi hal yang akhirnya tidak patut.
Kira - kira jalan apa ya? yang harus di tempuh ketika ketakutan akan sebuah pernikahan itu muncul? haruskah berkonsultasi ke psikolog/psikiater, atau juga konsultasi dengan kyai sementara di hati jelas-jelas mempertanyakan sampai sejauh apa yang bisa dilakukan ketika kondisi untuk menikah sudah semestinya dilakukan.
Benarkah ketika diri ini berujar, Pernikahan bukanlah sekedar keinginan, bukanlah hanya sekedar niat baik yang tak beralasan juga bukanlah hanya sekedar mengikuti ritual, dan karena desakan di sekitar. Pernikahan juga tidak bisa berlindung dari jargon untuk kepentingan kebahagian kita baik di dunia maupun dia akhirat. Tidak juga hanya sekedar takut akan ini atau itu maka menikahlah kita.
Rasanya naif mempertanyakan ketakutan akan sebuah pernikahan.
Tapi ketika sejak awal tidak berani jujur akan ketakutan, lantas hendak di bawa kemana pernikahan.
Membingungkan bukan?
tolonglah..